Minggu, 24 November 2013

PEMUDA MUSLIM YANG IDEAL


PEMUDA IDEAL
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُم بِالْحَقِّ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى
Kami Ceritakan kepadamu (Muhammad) kisah mereka dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami Tambahkan petunjuk kepada mereka.” (QS. al-Kahfi [18]: 13)

Hadirnya pemuda dalam pergaulan sosial merupakan sebuah sumbangan berharga. Di mana pemuda menjadi ‘harapan umat’ untuk melakukan gerakan yang edukatif dan transformatif. Gerakan edukatif, maknanya adalah perilaku yang mencerminkan pribadi pemuda sebagai sosok yang intelek alias berilmu pengetahuan yang luas dan dalam. Dengan modal tersebut, pemuda (diharapkan) dapat menempa dan mendidik umat kepada jalan kebaikan. Selanjutnya adalah gerakan transformatif, yaitu memberikan pencerahan umat, menuju jalan kebenaran.
Menjadi pemuda yang ideal, sebagaimana yang tergambarkan di atas, memang bukan perkara yang mudah. Dalam rangka mencapainya, dibutuhkan proses yang panjang. Proses tersebut merupakan ‘eskalator’ menuju idealisme pemuda, dalam menyikapi realitas kehidupan dan menyongsong masa depan. Karenanya, dibutuhkan kebulatan tekad, akumulasi semangat, dan kerja keras, bukan sekadar ‘mimpi belaka yang nihil aksi’. Ketika pemuda telah berniat untuk menjadi sosok impian maka pada saat yang sama ia harus berikrar untuk terus berproses dalam rangka memperbaiki diri (khairan min amsihi).
Pemuda, selain sebagai pilihan, juga sebuah kenyataan yang tidak akan pernah terhindarkan. Hal itu karena masa muda adalah muara dari “ke-balita-an” yang sudah (pernah) dilalui oleh seseorang. Urutannya, manusia lahir ke dunia sebagai ‘bayi’ pasti akan menemui takdirnya; tumbuh dan terus berkembang menjadi seorang pemuda. Sebagai sebuah pilihan, seorang pemuda haruslah menyiapkan dirinya untuk menjadi ‘abdi umat’. Di mana ia terus berjuang untuk menjadi ‘pelita’ di tengah kegelapan semesta. Tugasnya, tiada lain adalah mengeluarkan makhluk-makhluk yang berada dalam kegelapan tersebut menuju hamparan sahara yang terang.
Sebagai sebuah kenyataan, menjadi seorang pemuda merupakan anugerah terindah yang harus menjadi tambatan untuk senantiasa bersyukur. Tidak semua hamba Allah dapat merasakan manis-pahitnya masa muda dengan segala romantikanya. Pasalnya, banyak sahabat kita yang harus lebih dahulu menghadap ke haribaan-Nya sebelum ‘mengenyam pendidikan’ di masa muda. Sekali lagi, kesempatan untuk hidup di masa muda merupakan karunia yang, sungguh, luar biasa. Tentu, rasa syukur tidaklah cukup hanya terucap di lisan. Ia butuh ‘aplikasi’ dalam kehidupan nyata.
Pemuda adalah sosok yang (selaiknya) sangat teguh memegang idealisme. Dalam menjalani hidupnya selalu berpegang kepada sebuah prinsip; menegakkan kebenaran dan melawan kebatilan. Idealisme tersebut, diharapkan tidak akan tergadai ketika ‘bertatap’ dengan uang alias materi. Sampai kapanpun, termasuk ketika ia nanti sudah tidak menjadi pemuda lagi. Di sinilah letak pentingnya mempertahankan idealisme. Dengan begitu, maka idealisme, yang sudah melekat dalam jiwa, akan terus terbawa sampai nyawa meninggalkan raga.
Setidaknya ada 2 kriteria untuk menjadi pemuda yang ideal, menurut syariat Islam. Pertama, seorang pemuda haruslah memegang prinsip untuk menjalankan ajaran agama dengan baik dan benar. Lebih tepatnya, pemuda harus rajin beribadah kepada Allah Swt. Kedua, pemuda harus juga gemar dalam beramal. Beramal di sini lebih cenderung dimaknai sebagai ikhtiar atau bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dua hal tersebut, mari kita kaji lebih mendalam.
Membiasakan Beribadah
Dalam sebuah hadits yang masyhur Rasulullah Muhammad Saw. pernah mengingatkan. Apa yang beliau ingatkan ketika itu? Bahwa ada 7 golongan manusia yang akan mendapat perlindungan Allah di saat tidak ada perlindungan kecuali dari-Nya. Salah satu diantaranya, -urutan kedua-, adalah pemuda yang tumbuh dan berkembang dengan mengabdikan dirinya untuk beribadah kepada Allah. Dalam bahasa hadits dikatakan, ‘syâbbun nasya-a fî ‘ibâdatillâh’. Sungguh luar biasa pemuda tersebut. Masa muda, sebagai periode emasnya, ia gunakan untuk memperbanyak ibadah kepada Allah.
Pertanyaannya, sudahkah saat ini kita menjadi sosok pemuda yang rajin beribadah? Apakah keseharian kita sudah disibukkan untuk shalat sunnah dan membaca al-Quran, misalnya? Kalau belum, tidakkah kita berkeinginan untuk mendapatkan naungan Allah di hari akhir nanti? Hal ini tentu menjadi ‘muhasabah’ bersama untuk menyadarkan betapa pentingnya membiasakan diri untuk banyak beribadah sejak masa muda. Tentu kita ingat, betapa banyak pemuda yang enggan memperbanyak ibadah dengan alasan yang, sebenarnya, hanyalah sebuah apologis. “Saya menunggu hari tua datang untuk banyak beribadah.” Demikian, sering kali kita dapatkan komentar para pemuda ketika ditanya, mengapa saat ini malas untuk beribadah. Padahal, tidak jaminan untuk tetap hidup sampai masa tua!
Lalu apa pentingnya ibadah di masa muda? Pertama, sebagai pemuda, tentu gelora untuk melakukan sesuatu masih menggebu-nggebu. Menjadi sangat tepat jika ghîrah yang luar biasa itu digunakan untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah Swt. Selain sebagai rasa syukur juga untuk membentengi diri dari pengaruh kehidupan yang sering kali menjerumuskan. Jika sudah demikian maka masa muda menjadi momen yang sarat makna dalam sejarah kehidupan.
Kedua, seseorang itu hidup berdasarkan kebiasaannya. Bahkan, dalam sebuah ceramah, KH. Mustofa Bisri, mengingatkan, “mâta al-‘abdu ‘ala mâ ‘âsya.” Seseorang itu meninggal (wafat) berdasarkan kebiasaannya. Jika seseorang terbiasa beribadah maka, insya Allah, ia akan menemui ajalnya dengan kondisi yang sama. Nah, untuk menyongsong hari-hari tua yang pasti menyapa, pemuda harus mempersiapkan diri sebagai seorang yang gemar beribadah. Sehingga, masa tua menjadi ‘estafet’ untuk meneruskan ibadah di kala muda, sampai menemui Sang Pencipta. Bukankah khusnul khâtimah, adalah dambaan semua hamba?
Konsep Ibadah
Berbicara masalah ibadah ada baiknya untuk memetakan ibadah itu sendiri. Pertama, ibadah yang berbentuk “personal-ritual”. Ibadah ini merupakan ibadah mahdhah yang sudah lazim dilaksanakan oleh setiap muslim. Mulai dari shalat 5 waktu (beserta sunnah rawatibnya), puasa Ramadhan (dan puasa sunnah), zakat (baik fitrah maupun mal), dan ibadah haji. Semuanya sudah diatur dalam syariat. Karenanya umat Islam tidak diperkenankan untuk melakukan ‘inovasi’ dalam hal ini. Tepatnya, lakukan saja sebagaimana adanya.
Kedua, adalah yang, -dalam bahasa penulis-, disebut sebagai ibadah “sosial-aktual”. Ibadah ini merupakan tanggung jawab sosial (social responsibility) seseorang. Tanggung jawab sosial ini sebagai konsekuensi syukur seorang hamba. Bentuknya adalah pengabdian sosial untuk memberikan manfaat kepada umat manusia dan alam semesta. Ibadah ini memang umum dan karenanya manusia diperbolehkan melakukan inovasi. Pasalnya, ibadah sosial haruslah aktual dan kontekstual. Sesuai dengan keadaan dan tepat guna. Sesuatu yang berguna bagi kelompok tertentu belum tentu berguna bagi kelompok yang lain. Disinilah letak urgensi dari aktualitas ibadah sosial.
Beramal, tidak Berpangku Tangan
Selain beribadah pemuda juga harus gemar beramal. Pernah suatu ketika Rasulullah mendapati seseorang yang berdiam diri (beribadah) di dalam masjid. Rasulullah pun bertanya kepadanya, siapa yang mencarikan nafkah baginya, sementara ia bermasyuk-ria beribadah di masjid. Orang tersebut menjawab bahwa yang menghidupinya adalah saudaranya. Maka Rasulullah pun seketika itu mengatakan bahwa saudaranya yang menafkahinya itu lebih mulia darinya, yang terus beribadah dalam masjid. Hal ini menunjukan bahwa ibadah (ukhrawi) dan bekerja (duniawi) merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Manakala salah satunya terabaikan akan menyebabkan ketimpangan. Pada akhirnya menjadikan ketidakharmonisan hidup manusia.
Dalam konteks ini, pemuda dituntut bukan sekadar rajin beribadah, tetapi juga gemar beramal. Beramal atau bekerja adalah upaya ‘pemandirian’ diri agar tidak selalu bergantung kepada orang lain, termasuk orang tua. Dan bekerja juga merupakan media untuk melatih diri, karena pada akhirnya seorang pemuda juga akan menjadi ‘bapak dari anak-anaknya’. Tentu seorang bapak berkewajiban untuk memberikan nafkah yang layak kepada buah hatinya. Sehingga bekerja sedini mungkin merupakan tindakan positif untuk menyongsong masa depan yang cerah.
Bekerja sendiri, merupakan upaya untuk ‘menjemput’ karunia Allah yang, mungkin, sudah begitu dekat. Dengan kata lain, bekerja adalah upaya untuk ‘mengais’ rezeki-Nya yang terhampar luas di alam semesta. Dengan bekerja berarti pemuda dapat menunjukkan kegigihannya dalam menjalani kehidupan. Emas tidaklah turun begitu saja dari langit. Begitu juga mutiara, tidak akan pernah muncul dengan sendirinya. Semuanya butuh usaha yang berlandaskan keimanan kepada Allah ta’âla.

Ikhtitâm
Kita, termasuk penulis pribadi, sadar bahwa menjadi pemuda muslim yang ideal memang tidak mudah, kalau bukan sulit. Mengombinasikan antara sosok ‘abid dan ‘amil membutuhkan upaya cerdas dan kerja keras. Terkadang harus berpeluh keringat. Di saat lain, bahkan, harus merelakan diri untuk berlumurkan darah yang pekat. Namun semua itu tidaklah bepengaruh negatif jika kita melandasi hidup ini dengan keridhaan akan takdir-Nya. Seorang teman mengirimkan SMS yang ending-nya adalah sebuah ‘pertanyaan sekaligus jawaban’ yang menyentuh kalbu. “Mengapa perjuangan itu pahit? Jawabannya adalah, karena surga itu manis!” Semoga! Wallâhu syahîdun ‘ala mâ naqûlu. Wallâhu a’lamu bi ash-shawâb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar