PEMUDA IDEAL
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُم بِالْحَقِّ
إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى
“Kami
Ceritakan kepadamu (Muhammad) kisah mereka dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang
beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami Tambahkan petunjuk kepada mereka.”
(QS. al-Kahfi [18]: 13)
Hadirnya
pemuda dalam pergaulan sosial merupakan sebuah sumbangan berharga. Di mana
pemuda menjadi ‘harapan umat’ untuk melakukan gerakan yang edukatif dan transformatif.
Gerakan edukatif, maknanya adalah perilaku yang mencerminkan pribadi pemuda
sebagai sosok yang intelek alias berilmu pengetahuan yang luas dan
dalam. Dengan modal tersebut, pemuda (diharapkan) dapat menempa dan mendidik
umat kepada jalan kebaikan. Selanjutnya adalah gerakan transformatif, yaitu
memberikan pencerahan umat, menuju jalan kebenaran.
Menjadi
pemuda yang ideal, sebagaimana yang tergambarkan di atas, memang bukan perkara
yang mudah. Dalam rangka mencapainya, dibutuhkan proses yang panjang. Proses
tersebut merupakan ‘eskalator’ menuju idealisme pemuda, dalam menyikapi
realitas kehidupan dan menyongsong masa depan. Karenanya, dibutuhkan kebulatan
tekad, akumulasi semangat, dan kerja keras, bukan sekadar ‘mimpi belaka yang
nihil aksi’. Ketika pemuda telah berniat untuk menjadi sosok impian maka pada
saat yang sama ia harus berikrar untuk terus berproses dalam rangka memperbaiki
diri (khairan min amsihi).
Pemuda,
selain sebagai pilihan, juga sebuah kenyataan yang tidak akan pernah
terhindarkan. Hal itu karena masa muda adalah muara dari “ke-balita-an” yang
sudah (pernah) dilalui oleh seseorang. Urutannya, manusia lahir ke dunia
sebagai ‘bayi’ pasti akan menemui takdirnya; tumbuh dan terus berkembang
menjadi seorang pemuda. Sebagai sebuah pilihan, seorang pemuda haruslah
menyiapkan dirinya untuk menjadi ‘abdi umat’. Di mana ia terus berjuang untuk
menjadi ‘pelita’ di tengah kegelapan semesta. Tugasnya, tiada lain adalah
mengeluarkan makhluk-makhluk yang berada dalam kegelapan tersebut menuju
hamparan sahara yang terang.
Sebagai
sebuah kenyataan, menjadi seorang pemuda merupakan anugerah terindah yang harus
menjadi tambatan untuk senantiasa bersyukur. Tidak semua hamba Allah dapat
merasakan manis-pahitnya masa muda dengan segala romantikanya. Pasalnya, banyak
sahabat kita yang harus lebih dahulu menghadap ke haribaan-Nya sebelum
‘mengenyam pendidikan’ di masa muda. Sekali lagi, kesempatan untuk hidup di
masa muda merupakan karunia yang, sungguh, luar biasa. Tentu, rasa syukur
tidaklah cukup hanya terucap di lisan. Ia butuh ‘aplikasi’ dalam kehidupan
nyata.
Pemuda
adalah sosok yang (selaiknya) sangat teguh memegang idealisme. Dalam menjalani
hidupnya selalu berpegang kepada sebuah prinsip; menegakkan kebenaran dan
melawan kebatilan. Idealisme tersebut, diharapkan tidak akan tergadai ketika
‘bertatap’ dengan uang alias materi. Sampai kapanpun, termasuk ketika ia
nanti sudah tidak menjadi pemuda lagi. Di sinilah letak pentingnya
mempertahankan idealisme. Dengan begitu, maka idealisme, yang sudah melekat
dalam jiwa, akan terus terbawa sampai nyawa meninggalkan raga.
Setidaknya
ada 2 kriteria untuk menjadi pemuda yang ideal, menurut syariat Islam. Pertama,
seorang pemuda haruslah memegang prinsip untuk menjalankan ajaran agama dengan
baik dan benar. Lebih tepatnya, pemuda harus rajin beribadah kepada Allah Swt. Kedua,
pemuda harus juga gemar dalam beramal. Beramal di sini lebih cenderung dimaknai
sebagai ikhtiar atau bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dua hal
tersebut, mari kita kaji lebih mendalam.
Membiasakan Beribadah
Dalam
sebuah hadits yang masyhur Rasulullah Muhammad Saw. pernah mengingatkan. Apa
yang beliau ingatkan ketika itu? Bahwa ada 7 golongan manusia yang akan mendapat
perlindungan Allah di saat tidak ada perlindungan kecuali dari-Nya. Salah satu
diantaranya, -urutan kedua-, adalah pemuda yang tumbuh dan berkembang dengan
mengabdikan dirinya untuk beribadah kepada Allah. Dalam bahasa hadits
dikatakan, ‘syâbbun nasya-a fî ‘ibâdatillâh’. Sungguh luar biasa pemuda
tersebut. Masa muda, sebagai periode emasnya, ia gunakan untuk memperbanyak
ibadah kepada Allah.
Pertanyaannya,
sudahkah saat ini kita menjadi sosok pemuda yang rajin beribadah? Apakah
keseharian kita sudah disibukkan untuk shalat sunnah dan membaca al-Quran,
misalnya? Kalau belum, tidakkah kita berkeinginan untuk mendapatkan naungan
Allah di hari akhir nanti? Hal ini tentu menjadi ‘muhasabah’ bersama untuk
menyadarkan betapa pentingnya membiasakan diri untuk banyak beribadah sejak
masa muda. Tentu kita ingat, betapa banyak pemuda yang enggan memperbanyak
ibadah dengan alasan yang, sebenarnya, hanyalah sebuah apologis. “Saya menunggu
hari tua datang untuk banyak beribadah.” Demikian, sering kali kita dapatkan
komentar para pemuda ketika ditanya, mengapa saat ini malas untuk beribadah.
Padahal, tidak jaminan untuk tetap hidup sampai masa tua!
Lalu
apa pentingnya ibadah di masa muda? Pertama, sebagai pemuda, tentu
gelora untuk melakukan sesuatu masih menggebu-nggebu. Menjadi sangat tepat jika
ghîrah yang luar biasa itu digunakan untuk semakin mendekatkan diri
kepada Allah Swt. Selain sebagai rasa syukur juga untuk membentengi diri dari
pengaruh kehidupan yang sering kali menjerumuskan. Jika sudah demikian maka masa
muda menjadi momen yang sarat makna dalam sejarah kehidupan.
Kedua,
seseorang itu hidup berdasarkan kebiasaannya. Bahkan, dalam sebuah ceramah, KH.
Mustofa Bisri, mengingatkan, “mâta al-‘abdu ‘ala mâ ‘âsya.” Seseorang
itu meninggal (wafat) berdasarkan kebiasaannya. Jika seseorang terbiasa
beribadah maka, insya Allah, ia akan menemui ajalnya dengan kondisi yang
sama. Nah, untuk menyongsong hari-hari tua yang pasti menyapa, pemuda
harus mempersiapkan diri sebagai seorang yang gemar beribadah. Sehingga, masa
tua menjadi ‘estafet’ untuk meneruskan ibadah di kala muda, sampai menemui Sang
Pencipta. Bukankah khusnul khâtimah, adalah dambaan semua hamba?
Konsep Ibadah
Berbicara
masalah ibadah ada baiknya untuk memetakan ibadah itu sendiri. Pertama,
ibadah yang berbentuk “personal-ritual”. Ibadah ini merupakan ibadah mahdhah
yang sudah lazim dilaksanakan oleh setiap muslim. Mulai dari shalat 5 waktu
(beserta sunnah rawatibnya), puasa Ramadhan (dan puasa sunnah), zakat (baik
fitrah maupun mal), dan ibadah haji. Semuanya sudah diatur dalam syariat.
Karenanya umat Islam tidak diperkenankan untuk melakukan ‘inovasi’ dalam hal
ini. Tepatnya, lakukan saja sebagaimana adanya.
Kedua, adalah
yang, -dalam bahasa penulis-, disebut sebagai ibadah “sosial-aktual”. Ibadah
ini merupakan tanggung jawab sosial (social responsibility) seseorang.
Tanggung jawab sosial ini sebagai konsekuensi syukur seorang hamba.
Bentuknya adalah pengabdian sosial untuk memberikan manfaat kepada umat manusia
dan alam semesta. Ibadah ini memang umum dan karenanya manusia diperbolehkan
melakukan inovasi. Pasalnya, ibadah sosial haruslah aktual dan kontekstual.
Sesuai dengan keadaan dan tepat guna. Sesuatu yang berguna bagi kelompok
tertentu belum tentu berguna bagi kelompok yang lain. Disinilah letak urgensi
dari aktualitas ibadah sosial.
Beramal, tidak Berpangku Tangan
Selain
beribadah pemuda juga harus gemar beramal. Pernah suatu ketika Rasulullah
mendapati seseorang yang berdiam diri (beribadah) di dalam masjid. Rasulullah
pun bertanya kepadanya, siapa yang mencarikan nafkah baginya, sementara ia
bermasyuk-ria beribadah di masjid. Orang tersebut menjawab bahwa yang
menghidupinya adalah saudaranya. Maka Rasulullah pun seketika itu mengatakan
bahwa saudaranya yang menafkahinya itu lebih mulia darinya, yang terus
beribadah dalam masjid. Hal ini menunjukan bahwa ibadah (ukhrawi) dan
bekerja (duniawi) merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Manakala salah satunya terabaikan akan menyebabkan ketimpangan. Pada akhirnya
menjadikan ketidakharmonisan hidup manusia.
Dalam
konteks ini, pemuda dituntut bukan sekadar rajin beribadah, tetapi juga gemar
beramal. Beramal atau bekerja adalah upaya ‘pemandirian’ diri agar tidak selalu
bergantung kepada orang lain, termasuk orang tua. Dan bekerja juga merupakan
media untuk melatih diri, karena pada akhirnya seorang pemuda juga akan menjadi
‘bapak dari anak-anaknya’. Tentu seorang bapak berkewajiban untuk memberikan
nafkah yang layak kepada buah hatinya. Sehingga bekerja sedini mungkin
merupakan tindakan positif untuk menyongsong masa depan yang cerah.
Bekerja
sendiri, merupakan upaya untuk ‘menjemput’ karunia Allah yang, mungkin, sudah
begitu dekat. Dengan kata lain, bekerja adalah upaya untuk ‘mengais’ rezeki-Nya
yang terhampar luas di alam semesta. Dengan bekerja berarti pemuda dapat
menunjukkan kegigihannya dalam menjalani kehidupan. Emas tidaklah turun begitu
saja dari langit. Begitu juga mutiara, tidak akan pernah muncul dengan
sendirinya. Semuanya butuh usaha yang berlandaskan keimanan kepada Allah ta’âla.
Ikhtitâm
Kita,
termasuk penulis pribadi, sadar bahwa menjadi pemuda muslim yang ideal memang
tidak mudah, kalau bukan sulit. Mengombinasikan antara sosok ‘abid dan ‘amil
membutuhkan upaya cerdas dan kerja keras. Terkadang harus berpeluh
keringat. Di saat lain, bahkan, harus merelakan diri untuk berlumurkan darah
yang pekat. Namun semua itu tidaklah bepengaruh negatif jika kita melandasi
hidup ini dengan keridhaan akan takdir-Nya. Seorang teman mengirimkan SMS
yang ending-nya adalah sebuah ‘pertanyaan sekaligus jawaban’ yang
menyentuh kalbu. “Mengapa perjuangan itu pahit? Jawabannya adalah, karena surga
itu manis!” Semoga! Wallâhu syahîdun ‘ala mâ naqûlu. Wallâhu a’lamu bi
ash-shawâb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar